Judul : Upacara
Penulis : Korrie Layun Rampan
Penerbit : Pustaka Jaya, 1978
Asli dari : Universitas Michigan
Didigitalkan : 1 September 2006
Tebal : 128 halaman
Korrie Layun
Rampan begitu
orang memanggilnya. Pria kelahiran Samarinda,
Kalimantan
Timur pada 17 Agustus 1953 ini merupakan seorang seniman dalam membuat karya sastra. Hingga kini terhitung beliau telah menulis 6 buah novel sudah diterbitkan serta 52 manuskrip novel, 24
kumpulan cerpen yang sudah diterbitkan plus 38 manuskrip.
Salah satu karyanya tersebut yaitu sebuah rroman yang berjudul "Upacara". Sebuah maha karya dibidang sastra yang telah menjuarai Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta 1976 . Novel ini diterbitkan oleh Pustaka jaya, 1978 namun baru didigitalkan pada 1 September 2010 dengan jumlah halaman sebanyak 128 halaman. Novel ini membuat orang tertarik untuk membacanya karena termuat dalam sebuah buku yang berukuran 23.7 x 13.4 cm dengan sampul yang menarik.
Dalam roman ini Korrie Layun
Rampan melukiskan pengalaman batin yang
dilakukan oleh tokoh "aku" tatkala menjalani berbagai upacara meruwat
(crisis rite), yang diselenggarakan oleh penduduk sebuah perkampungan
sukubangsa Dayak di pedalaman Kalimantan. Upacara demi upacara yang dilakukan
oleh tokoh "aku" dilukiskan dalam roman ini. Kisahnya diawali dengan
pelukisan si "aku" dalam keadaan siuman ketika sedang berlangsung
upacara individual bagi kesembuhan dirinya.
Kemudian, dalam
upacara balian seolah-olah kita dibawa si "aku" untuk turut
menghayati alam dan kehidupan orang Dayak. Apakah mereka percaya adanya Tuhan
yang Maha Esa? Jawaban tentang ini dilukiskan ketika paman Jamoq ( seorang
dukun yang tersohor di kampung itu) dengan tuan Smith. Tuan Smith seorang
antropolog Amerika yang sedang melakukan penelitian di pedalaman Kalimantan. Di
samping itu rupanya ia pun seorang missioner yang hendak memperkenalkan
"sang Juru Selamat" kepada orang Dayak, akan tetapi mereka menolak.
Mula-mula si
"aku" menjalin kasih dengan Waning seorang primadona yang ada di desanya.
Tapi malapetaka datang menimpa. Waktu si
"aku" kembali dari pengembaraanya di hutan, mencari hasil-hasil
hutan, Waning telah tiada. Adegan yang mengharukan tatkala si "aku"
menemukan barang-barang peninggalan kekasihnya itu, dilukiskan dengan mengesankan
sekali.
Setelah beberapa
kali si "aku" mengalami hal yang pahit dalam pencarian seorang
pendamping hidup, akhirnya si "aku" menemukan jodohnya. Ifing, adik
Waning, rupa-rupanya dengan diam-diam telah mencintai si "aku". Baru
kemudian si "aku" memperhatikan
gadis yang mungil itu. Ifing ternyata menyimpan kelembutan dan kecantikan
Waning. Maka di akhir cerita, upacara diadakan untuk mempersatukan dua remaja
ini dalam ikatan perkawinan. Upacara itu
disebut Pelulungan.
Persoalan
orang-orang asing di pedalaman Kalimantan merepotkan orang pedalam. Orang-orang
asing itu membawa malapetaka. Mereka
mengawini gadis-gadis Dayak, kemudian ditinggal begitu saja dalam keadaan
mengandung atau melahirkan anak. Hutan sebagai tempat mencari makan banyak
ditebangi, alampun marah mengirimkan banjir. Semua ini dirasakan sebagai
malapetaka.
Untaian-untaian
kata yang indah tersirat didalam roman ini serta dalam setiap alur cerita yang
diceritakan dengan bahasa yang sangat puitis sehingga mampu membuat orang
tertarik untuk membacanya. Kata-kata puitis itulah yang membuat perlunya pemahaman arti kata demi kata dari
pembaca. Dengan demikian pengetahuan si pembaca bertambah. Namun ada bebera
kata yang sulit untuk dimengerti karena kata-katanya yang digunakan tersebut
ialah kata kias yang biasa digunakan oleh para penyair. Namun karena pengemasan
roman ini sangat menarik maka hal tersebut seakan tidak menjadi masalah dalam
kita membacanya.
Banyak cerita yang menyiratkan
nilai-nilai budaya dan sosial yang layak untuk perkembangan pengetahuan dan
psikis remaja sehingga dapat menambah wawasan dan merasa lebih mencintai akan
kekayaan budaya yang ada di bumi pertiwi ini.
0 komentar:
Post a Comment